Sumpah Bung Hatta: Prinsip yang Tak Tergoyahkan Menolak Singapura

Keteguhan hati dan prinsip adalah hal yang sangat dihargai, dan Bung Hatta menunjukkan hal ini dengan sangat tegas. Ia bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kaki di Singapura selama hidupnya, sebuah sumpah yang ia pegang teguh hingga akhir hayatnya.

Sumpah tersebut dinyatakannya di depan sang istri, Rahmi. Hal ini merupakan bentuk kekecewaan Hatta terhadap pemerintah Singapura yang mengeksekusi dua marinir Indonesia yang dihormati, Serda Usman dan Kopral Harun, pada 17 Oktober 1968. Kedua marinir ini dihukum mati setelah terlibat dalam pengeboman Hotel MacDonald di Orchard Road, Singapura.

Hatta tidak membuat pengecualian, baik untuk seminar, rapat pejabat negara, maupun sekadar transit pesawat. Baginya, prinsip dan harga diri lebih penting dari segala hal lainnya.

Mengapa Bung Hatta begitu keras menolak Singapura? Apakah yang sebenarnya terjadi antara Indonesia dan Singapura?

Awal Konfrontasi dan Peran Singapura

Pada tahun 1962, Indonesia terlibat dalam konfrontasi dengan Federasi Malaya (sekarang Malaysia). Presiden Soekarno tidak senang dengan ambisi Federasi Malaya yang ingin menguasai Sabah, Sarawak, dan Brunei di Pulau Kalimantan bagian Utara, yang berbatasan langsung dengan Indonesia.

Soekarno menganggap pembentukan Malaysia sebagai bentuk imperialisme baru yang mengancam kedaulatan Indonesia. Pada tahun 1963, ia menyerukan "Ganyang Malaysia" sebagai bentuk perlawanan atas nama martabat bangsa. Untuk mendukung aksi ini, Soekarno memerintahkan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Omar Dhani untuk melakukan sabotase di Singapura, sebagai langkah melawan imperialisme Malaysia.

Usman dan Harun, bersama dengan seorang lagi bernama Gani, menjadi relawan untuk menjalankan misi ini. Mereka melakukan pengeboman di Hotel MacDonald pada 10 Maret 1965, yang menyebabkan kerusakan besar dan menewaskan tiga orang serta melukai 33 orang lainnya.

Konsekuensi dari Tindakan Mereka

Meskipun misi tersebut berhasil, Usman dan Harun tertangkap saat mencoba melarikan diri. Mereka dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Singapura pada 20 Oktober 1965. Pembelaan bahwa mereka adalah tawanan perang ditolak karena mereka tidak mengenakan seragam militer saat tertangkap. Segala upaya diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia tidak membuahkan hasil.

Bung Hatta, sebagai bentuk protes dan penghormatan terhadap kedua marinir tersebut, bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kaki di Singapura. Sumpah ini menjadi simbol perlawanan damai Bung Hatta terhadap ketidakadilan yang menimpa Usman dan Harun.

Kisah ini menunjukkan keteguhan prinsip Bung Hatta dan rasa hormatnya terhadap pahlawan bangsa. Sumpahnya untuk tidak pernah menginjakkan kaki di Singapura adalah bukti nyata dari integritas dan harga diri yang ia junjung tinggi. Bung Hatta telah menunjukkan bahwa terkadang, tindakan sederhana namun penuh makna dapat menjadi simbol perlawanan yang kuat terhadap ketidakadilan

Tidak ada komentar